PENGERTIAN
Asal kata perikatan dari obligatio (latin), obligation
(Perancis, Inggris) Verbintenis (Belanda = ikatan atau hubungan).
Selanjutnya Verbintenis mengandung banyak pengertian, di antaranya:
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara
dua orang (pihak) atau lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan
pihak lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya.
Perjanjian adalah peristiwa di mana pihak yang satu
berjanji kepada pihak yang lain untuk melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian
ini maka timbullah suatu
Definisi Hukum Perikatan :
- Menurut Hofmann : Suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subyek-subyek hukum sehubungan dengan itu dengan seseorang atau beberapa prang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu
- Menurut Pitlo : Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara 2 orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi
- Menurut Subekti : Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara 2 pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata
terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
- Perikatan
yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
- Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi
menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini
tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata
- Perikatan
terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
AZAZ-AZAZ HUKUM PERIKATAN
Azas-azas hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH
Perdata, yakni :
3.1.Azas Kebebasan Berkontrak
Dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa
segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
3.2.Azas Konsensualisme
Azas ini berarti, bahwa perjanjian itu lahir pada saat
tercapainya kata sepakat antara pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak
memerlukan sesuatu formalitas.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang
mengikatkan diri, yi:
1. Kata sepakat antara para pihak yang
mengikatkan diri.
2. Cakap untuk membuat suatu
perjanjian.
3. Mengenai suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
WANPRESTASI DAN AKIBAT – AKIBATNYA
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur)
tidak melakukan apa yang diperjanjikan, misalnya ia (alpa) atau ingkar janji.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat
kategori, yakni :
1. Tidak melakukan
apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan
apa yand dijanjikannua, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
3. Melakukan apa
yang dijanjikan tetapi terlambat.
4. Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau
akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan
menjadi tiga kategori, yakni
1.Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti
Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni
Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni
1. Biaya adalah segala pengeluaran atau
perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak.
2. Rugi adalah kerugian karena
kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si
debitor;
3. Bunga adalah kerugian yang berupa
kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2.Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur
dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau
pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan
sebelum perjanjian diadakan.
5.HAPUSNYA PERIKATAN
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1381
menyebutkan sepuluh macam cara hapusnya perikatan yaitu :
1. Pembayaran
2. Penawaran pembayaran diikuti dengan
penitipan.
3. Pembaharuan utang (inovatie)
4. Perjumpaan utang (kompensasi)
5. Percampuran utang.
6. Pembebasan utang.
7. Musnahnya barang yang terutang
8. Kebatalan dan pembatalan
perikatan-perikatan.
Adapun dua cara lainnya yang tidak diatur dalam Bab IV
Buku III KUH Perdata
1. Syarat yang membatalkan (diatur
dalam Bab I).
2. Kadaluwarsa (diatur dalam Buku IV,
Bab 7).
JENIS-JENIS PERIKATAN
Perikatan dapat
dibedakan menurut :
1.
Isi daripada
prestasinya :
1a. Perikatan
positif dan negative.
1b.Perikatan
sepintas lalu dan berkelanjutan.
1c.Perikatan
alternative.
1d. Perikatan fakultatif.
• Perikatan yang
dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.
Apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung apakah prestasinya dapat dibagi-bagi atau tidak.
Apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung apakah prestasinya dapat dibagi-bagi atau tidak.
Prestasi yang tidak dapat dibagi-bagi
dibedakan:
a. Menurut sifatnya§
Menurut pasal 1296
BW perikatan tidak dapat dibagi-bagi, jika objek daripada perikatan tersebut
yang berupa penyerahan sesuatu barang atau perbuatan dalam pelaksanaannya tidak
dapat dibagi-bagi.
Menurut Asser’s,
dalam pengertian hukum sesuatu benda dapat dibagi-bagi jika benda tersebut
tanpa mengubah hakekatnya dan tidak mengurangi secara menyolok nilai harganya
dapat dibagi-bagi dalam bagian-bagian.
b. Menurut tujuan para pihak§
Menurut tujuannya
perikatan adalah tidak dapat dibagi-bagi, jika maksud para pihak bahwa
prestasinya harus dilaksanakan sepenuhnya, sekalipun sebenarnya perikatan
tersebut dapat dibagi-bagi. Perikatan untuk menyerahkan hak milik sesuatu benda
menurut tujuannya tidak dapat dibagi-bagi, sekalipun menurut sifat prestasinya,
dapat dibagi-bagi.
PERIKATAN YANG TERJADI KARENA PERSETUJUAN
Pasal 1313 BW memberikan definisi mengenai persetujuan sebagai berikut : “persetujuan adalah suatu perbuatan, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum.
Sehubungan dengan itu perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu :
Bagian-bagian (unsur-unsur) persetujuan, Unsur
dari perjanjian terdiri dari :
1. Essensialia
2.Naturalia
3. Aksidentalia
Macam-macam
persetujuan obligatoir :
1.
Persetujuan
sepihak dan timbal balik
2.
Persetujuan
dengan Cuma-Cuma atau atas beban.
3.
Persetujuan
konsensuil, riil dan formil
4.
Persetujuan
bernama, tidak bernama dan campuran
Persetujuan-persetujuan
bernama adalah persetujuan-persetujuan, dimana oleh undang-undang telah diatur
secara khusus. Diatur dalam BW bab V s.d. XVIII ditambah title VII A; dalam
KUHD persetujuan-persetujuan asuransi dan pengangkutan. Tidak selalu dengan
pasti kita dapat mengatakan apakah suatu persetujuan itu merupakan persetujuan
bernama atau tidak bernama. Karena ada persetujuan-persetujuan yang mengandung
berbagai unsur dari berbagai persetujuan yang sulit dikualifikasikan sebagai
persetujuan bernama atau tidak bernama (persetujuan campuran). Hanya dalam satu
hal undang-undang memberikan pemecahannya yaitu, yang tersebut dalam pasal 1601
C. untuk menyelesaikan persoalan tersebut, maka dapat dikemukakan tiga teori :
1.Teori absorptiev 3.Teori generisv
2.Teori
combinatiev
Macam-macam persetujuan lainnya :
1.
Persetujuan
liberatoire (pasal 1440 dan pasal 1442 BW)
2.
Persetujuan dalam
hukum keluarga
3.
Persetujuan
kebendaan
4.
Persetujuan
mengenai pembuktian
Berlakunya persetujuan
Persetujuan
pada asasnya hanya mengikat pihak-pihak yang membuat persetujuan saja (pasal
1315-pasal 1318 dan pasal 1340 BW). Akan tetapi ternyata terhadap asas tersebut
undang-undang mengadakan pengecualian yang tersebut dalam pasal 1317 BW, yaitu
mengenai janji bagi kepentingan pihak ketiga. Pasal 1316 yang mengatur
persetujuan untuk menanggung atau menjamin pihak ketiga untuk berbuat sesuatu,
sebenarnya bukan merupakan pengecualian dari pasla 1315. karena seseorang yang
menanggung pihak ketiga untuk berbuat sesuatu, mengikatkan dirinya atas sesuatu
kewajiban terhadap lawannya dalam persetujuan, bahwa manakala pihak ketiga
tidak melakukan apa yang diharapkan daripadanya ia akan membayar ganti rugi.
Dalam hal ini pihak ketiga menurut hukum tidak terikat oleh persetujuan
tersebut.
Sumber : Rangkuman Materi Aspek Hukum ( WIDIATMINI )
REFERENSI BUKU:
1.
Diktat kuliah
3.
Hukum Perusahaan di Indonesia jilid 1 ( Kansil)
5.
Hukum dalam Ekonomi
No comments:
Post a Comment