Thursday, April 18, 2013

Hukum Perikatan


PENGERTIAN

Asal kata perikatan dari obligatio (latin), obligation (Perancis, Inggris)  Verbintenis (Belanda = ikatan atau hubungan). Selanjutnya Verbintenis mengandung banyak pengertian, di antaranya:
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang (pihak) atau lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya.
Perjanjian adalah peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian ini maka timbullah suatu
 Definisi Hukum Perikatan :
  • Menurut Hofmann : Suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subyek-subyek hukum sehubungan dengan itu dengan seseorang atau beberapa prang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu
  • Menurut Pitlo : Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang  bersifat harta kekayaan antara 2 orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi
  • Menurut Subekti : Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara 2 pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu.
  DASAR HUKUM PERIKATAN
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
  • Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
  • Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata
  • Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
AZAZ-AZAZ HUKUM PERIKATAN
Azas-azas hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni :
3.1.Azas Kebebasan Berkontrak
Dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
3.2.Azas Konsensualisme
Azas ini berarti, bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yi:
1.     Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri.
2.     Cakap untuk membuat suatu perjanjian.
3.     Mengenai suatu hal tertentu.
4.     Suatu sebab yang halal.
 WANPRESTASI DAN AKIBAT – AKIBATNYA
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan, misalnya ia (alpa) atau ingkar janji.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1.       Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2.       Melaksanakan apa yand dijanjikannua, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
3.       Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.                             
4.       Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1.Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni
1.     Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak.
2.     Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
3.     Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2.Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
5.HAPUSNYA PERIKATAN                                                        
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1381 menyebutkan sepuluh macam cara hapusnya perikatan yaitu :
1.     Pembayaran
2.     Penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan.
3.     Pembaharuan utang (inovatie)
4.     Perjumpaan utang (kompensasi)
5.     Percampuran utang.
6.     Pembebasan utang.
7.     Musnahnya barang yang terutang
8.     Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Adapun dua cara lainnya yang tidak diatur dalam Bab IV Buku III KUH Perdata
1.     Syarat yang membatalkan (diatur dalam Bab I).
2.     Kadaluwarsa (diatur dalam Buku IV, Bab 7).

 JENIS-JENIS PERIKATAN                                               
Perikatan dapat dibedakan menurut :
1.     Isi daripada prestasinya :
1a. Perikatan positif dan negative.
1b.Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan.
1c.Perikatan alternative.
1d.  Perikatan fakultatif.
• Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.
Apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung apakah prestasinya dapat dibagi-bagi atau tidak.
 Prestasi yang tidak dapat dibagi-bagi dibedakan:

a. Menurut sifatnya§
Menurut pasal 1296 BW perikatan tidak dapat dibagi-bagi, jika objek daripada perikatan tersebut yang berupa penyerahan sesuatu barang atau perbuatan dalam pelaksanaannya tidak dapat dibagi-bagi.
Menurut Asser’s, dalam pengertian hukum sesuatu benda dapat dibagi-bagi jika benda tersebut tanpa mengubah hakekatnya dan tidak mengurangi secara menyolok nilai harganya dapat dibagi-bagi dalam bagian-bagian.

b. Menurut tujuan para pihak§
Menurut tujuannya perikatan adalah tidak dapat dibagi-bagi, jika maksud para pihak bahwa prestasinya harus dilaksanakan sepenuhnya, sekalipun sebenarnya perikatan tersebut dapat dibagi-bagi. Perikatan untuk menyerahkan hak milik sesuatu benda menurut tujuannya tidak dapat dibagi-bagi, sekalipun menurut sifat prestasinya, dapat dibagi-bagi.


PERIKATAN YANG TERJADI KARENA PERSETUJUAN  

Pasal 1313 BW memberikan definisi mengenai persetujuan sebagai berikut : “persetujuan adalah suatu perbuatan, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum.
Sehubungan dengan itu perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu :
 Bagian-bagian (unsur-unsur) persetujuan, Unsur dari perjanjian terdiri dari :

1. Essensialia
2.Naturalia
3. Aksidentalia
Macam-macam persetujuan obligatoir :
1.     Persetujuan sepihak dan timbal balik
2.     Persetujuan dengan Cuma-Cuma atau atas beban.
3.     Persetujuan konsensuil, riil dan formil
4.     Persetujuan bernama, tidak bernama dan campuran
Persetujuan-persetujuan bernama adalah persetujuan-persetujuan, dimana oleh undang-undang telah diatur secara khusus. Diatur dalam BW bab V s.d. XVIII ditambah title VII A; dalam KUHD persetujuan-persetujuan asuransi dan pengangkutan. Tidak selalu dengan pasti kita dapat mengatakan apakah suatu persetujuan itu merupakan persetujuan bernama atau tidak bernama. Karena ada persetujuan-persetujuan yang mengandung berbagai unsur dari berbagai persetujuan yang sulit dikualifikasikan sebagai persetujuan bernama atau tidak bernama (persetujuan campuran). Hanya dalam satu hal undang-undang memberikan pemecahannya yaitu, yang tersebut dalam pasal 1601 C. untuk menyelesaikan persoalan tersebut, maka dapat dikemukakan tiga teori :

 1.Teori absorptiev                               3.Teori generisv
2.Teori combinatiev

Macam-macam persetujuan lainnya :                                          
1.     Persetujuan liberatoire (pasal 1440 dan pasal 1442 BW)
2.     Persetujuan dalam hukum keluarga
3.     Persetujuan kebendaan
4.     Persetujuan mengenai pembuktian

Berlakunya persetujuan
Persetujuan pada asasnya hanya mengikat pihak-pihak yang membuat persetujuan saja (pasal 1315-pasal 1318 dan pasal 1340 BW). Akan tetapi ternyata terhadap asas tersebut undang-undang mengadakan pengecualian yang tersebut dalam pasal 1317 BW, yaitu mengenai janji bagi kepentingan pihak ketiga. Pasal 1316 yang mengatur persetujuan untuk menanggung atau menjamin pihak ketiga untuk berbuat sesuatu, sebenarnya bukan merupakan pengecualian dari pasla 1315. karena seseorang yang menanggung pihak ketiga untuk berbuat sesuatu, mengikatkan dirinya atas sesuatu kewajiban terhadap lawannya dalam persetujuan, bahwa manakala pihak ketiga tidak melakukan apa yang diharapkan daripadanya ia akan membayar ganti rugi. Dalam hal ini pihak ketiga menurut hukum tidak terikat oleh persetujuan tersebut.



Sumber : Rangkuman Materi Aspek Hukum ( WIDIATMINI )
 REFERENSI BUKU:

1.      Diktat kuliah
3.      Hukum Perusahaan di Indonesia jilid 1 ( Kansil)
5.      Hukum dalam Ekonomi

No comments:

Post a Comment